Mata Kuliah : Kehidupan Keagamaan di Indonesia
2.1. Pengertian Pluralisme
Pluralisme
memiliki pengertian “Majemuk” asal kata dari plural “lebih dari satu atau dapat
di artikan plural itu adalah jamak”. Secara istilah kita
bisa merujuk pada tokoh muslim Nusantara Cak Nur menurut beliau pluralisme
adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam
kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif
adalah sikap aktif dan bijaksana.
Pluralism
dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai tiga
pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: sebutan untuk orang yang memegang
lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau
lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua,
pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya landasan
pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian
sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman
kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung
tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara
kelompok-kelompok tersebut. Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa
inggris, pluralism.
Apabila
merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng] pluralism adalah : “In
the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups
show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully
coexist and interact without conflict or assimilation.” Atau dalam bahasa
Indonesia : “Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa
hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi
(pembauran / pembiasan).”
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka
dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling
menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi)
serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat
modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi
utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada
konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota.
Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan
(dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih
tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari
anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh
kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah:
perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah
faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya,
pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi
bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi
kedokteran.
Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran
universalnya masing-masing.
2.2 Pembagian Pluralisme Agama
Sosiologis : Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu
kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal
beragama.
Ø Ini adalah
kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam
kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda
Ø Hal ini adalah realitas, karena
itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious
pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Ø Pandangan pluralisme ini tidak
berarti adanya pertemuan dalam hal
keimanan, namun hanya merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain
Teologis : keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa
dipakai hukum kompromistis dalam satu persoalan (objek) yang sama,
masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Jadi, pengakuan tentang
pluralismenya berada pada tataran sosial, yakni bahwa secara sosiologis kita
memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing. Persoalan kebenaran adalah
persoalan dalam wilayah masing-masing agama
Etis : Djohan Effendi bukan hanya
pengakuan secara sosiologis bahwa umat beragama berbeda, tetapi juga pengakuan
tentang titik temu secara teologis di antara umat beragama. Menolak absolutisme agama, mutlak dan statis
(menganggap bahwa kebenaran atau keselamatan menjadi klaim satu kelompok) Pembedakan antara agama
itu sendiri dengan keberagamaan manusia.
•
agama –terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini
sebagai bersifat ilahiyah.
Ø Agama memiliki
nilai mutlak.
Ø Namun, ketika
agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu tidak bisa sepenuhnya
ditangkap dan dijangkau oleh manusia, karena manusia sendiri bersifat nisbi.
Ø Oleh karena itu,
kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia –termasuk kebenaran agama yang
dikatakan oleh manusia—bersifat nisbi, tidak absolut.
Ø Yang absolut
adalah kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang dikatakan
oleh manusia itu nisbi. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui oleh ilmu
Tuhan.
Ø “Sebagai makhluk
yang bersifat nisbi, pengertian dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu
menjangkau dan menangkap agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan
menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seorang
penganut mengatakan perkataan agama, yang ada dalam pikirannya bukan hanya
agama sendiri, akan tetapi juga aliran yang dianutnya, bahkan pengertian dan
pemahamannya sendiri. Oleh karena itu, pengertian dan pemahamannya tentang
agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk
secara mutlak dan apriori menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain.”
2.3 Pluralisme Menurut
Para Ahli
Gus Dur,
ü Pluralisme dalam
bertindak dan berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi.
ü Sikap toleran
tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran
pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati, persoalan perilaku.
ü Tidak harus kaya
dulu. Bahkan, seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka yang tidak pintar juga tidak kaya, yang biasanya
disebut “orang-orang terbaik’ .
Alwi Shihab
ü tidak semata
menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan
aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
ü Pengertian
pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan
persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan
pluralisme
harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu
realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu
lokasi. Namun, interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama,
sangat minimal
konsep
pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena, konsekuensi dari
paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar.
Atau, “semua agama adalah sama”. Oleh karena itu, seorang relativis tidak akan
mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua
dan sepanjang masa.
pluralisme
agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan
unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk
dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
2.4. Kontroversi Pluralisme Agama
2.4.1
Pro pluralisme
Para cendikiawan muslim Indonesia telah terlibat dalam sejumlah
diskursus tentang Islam dan pluralisme. Bertolak dari pandangan bahwa Islam
merupakan agama kemanusiaan (fitrah), yang berarti cita-citanya sejajar dengan
cita-cita kemanusian universal, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa cita-cita
keislaman sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. Ini adalah
salah satu pokok ajaran Islam. Oleh karena itu sistem politik yang sebaiknya
diterapkan di Indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam,
tetapi juga membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat. Dengan kata lain
diperlukan sistem yang menguntungkan semua pihak, termasuk mereka yang
non-muslim. Hal ini papar Nurcholis sejalan dengan watak inklusif Islam.
Indonesia. Menurutnya, pandangan ini telah memperolah dukungan dalam sejarah
awal Islam. Nurcholis menyadari bahwa masarakat Indonsesia sangat pluralistik
dari segi entnis, adat-istiadat, dan agama. Dari segi agama, selain Islam,
realitas menunjukan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat
berkembanag subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia.
Oleh sebab itu masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi
sangat penting. Nurcholis optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme
ini, Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan. Fakta bahwa Islam
memperkuat toleransi dan memberikan aspirasi terhadap pluralisme, sangat
kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula mencerminkan tekad dari
berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan (comon platform)
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki pengalaman sejarah
yang panjang dalam pergumulan tentang keragamaan, aliran politik dan keagaman,
sejak zaman pra kemerdekaan sampai sesudahnya. Nurcholis melihat ideologi
negara Pancasilalah yang telah member kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia
dalam masalah pluralism keagamaan.
Sementara
itu Abdurrahman Wahid juga melihat hubungan antara Islam dengan pluralisme
dalam konteks manifestasi universalisme dalam kosmopolitanisme ajaran Islam.
Menurutnya, Islam ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme. Adalah
lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara
perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar tersebut adalah :
(1) Keselamatan Fisik warganegara
(2) keselamatan keyakinan agama masing-masing,
(3) Keselamatan keluarga dan keturunan,
(4) Keselamatan harta benda dan milik pribadi, dan
(5) Keselamatan profesi.
Dalam
konteks masayarakat Indonesia yang pluralistik ini, Abdurrahman mengharapkan
agar cita-cita untuk menjadikan Islam dan umat Islam sebagai “pemberi warna
tunggal” bagi kehidupan masyarakat disamping. Ia juga menolak jika Islam
djadikan “alternatif” terhadap kesadaran berbangsa yang telah begitu kuat
tertanam dalam kehidupan masyarakat Islam sebaiknya menempatkan ciri sebagai
faktor komplementer, dan bukan mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian format perjuangan Islam pada akhirnya partisipasi penuh dalam
upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis, dan penuh keadilan. Tujuan
akhinya adalah mengfungsikan Islam sebagai kekuatan integrative dalam kehidupan
berbangsa.
Pluralisme agama dapat
berkembang denga baik, apabila;
•
Adanya keterbukaan atau transparansi
•
menyadari adanya perbedaan
•
sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif
dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain
•
adanya persamaan
•
ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan
simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar
2.4.2 Kontra pluralisme
Berbeda dengan dua tokoh di atas, yang melihat pergumulan Islam
dengan pluralisme dalam perspekktif substansi ajaran Islam, Kuntowijoyo lebih
mengaitkannya dengan setting sosial budaya. Bagi Kunto peradaban Islam itu
sendiri merupakan sistem yang terbuka. Artinya peradaban Islam menjadi subur di
tengah pluralis budaya dan peradaban dunia. Meskipun demikian peradaban dan
kebudayaan Islam juga bersifat orsinil dan otentik, yang mempunyai ciri dan
kepribadian tersendiri. Kunto berpendapat bahwa umat Islam dapat menerima
aspek- aspek positif dari ideologi atau paham apapun, tetapi pada saat yang
sama, perlu didasari bahwa Islam itu otentik, memiliki kepribadian yang utuh
dan sistem tersendiri. Dalam konsteks Indonesia, Kunto berpendapat bahwa umat Islam,
terutama cendikiawannya, harus dapat memadukan kepentingan nasioanal dan
kepentinagan Islam.
Kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia, Kunto menawarkan
dua persoalan untuk dicermati, yaitu solidaritas antar agama dan pluralisme
positif. Mengenai solidaritas, ada dua tahap yang menentukan kemajuan dalam
hubungan antar agama, yaitu dari kerukunan menuju kerja sama. Kemajuan itu
adalah dari inward looking (meliahat ke dalam) ke outward looking (melihat
keluar). Setelah adanya rangkaian “kesalahpahaman” di antara pemeluk-pemeluk
agama di Indonesia, pada waktu menteri agama dijabat oleh Mukti Ali (1970).
Istilah kerukunan antar umat beragama mulai digulirkan. Sejak saat
itu terjadi perdebaatan mengenai makna dan praktek toleransi, apakah toleransi
itu dikenakan kepada mayoritas atau minoritas. Kesimpulan di atas kertas selalu
kedua-duanya, tatapi di lapangan, kerukunan tidak pernah terjadi. Ketakutan
akan Kristenisasi di daerah Islam dan Isalmiasasi di daerah kristen saling
menghantui kedua belah pihak, dan ini tidak menguntungan bagi upaya menciptakan
kerukunan. Pada tahun 1970-1990 kerukunan tidak pernah terjadi dalam praktek
kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal
ini terjadi ,menurut Kunto,karena masing-masing agama melihat ke dalam (inward
lokking). Solidaritas yag betul-betul terjadi pada tahun 1990-an, dengan tema
baru, bukan lagi dialog antar agama, tetapi out ward looking yaitu memikirkan
bersama bangsa ini. Itulah yang terjadi dalam forum-forum cendekiawan umat
beagama.
Pluralisme positif adalah kaidah bersama yang ditawarkan Kunto dalam
hubungan antar agama. Kaidah ini diperlukan agar tidak terjadi hubungan
berdasarkan prasangka. Kaidahnya adalah bahwa (1) selain agama sendiri ada
agama lain yang harus dihormati (pluralisme), dan (2) masing-masing agama harus
tetap memegang teguh agamanya. Pluralisme menjadi negative apabila orang
mengumpamakan agama seperti baju, yang dapat diganti-ganti semaunya. Pluralisme
positiflah yang dipraktekkan Rasul di Madinah. Senada dengan Kuntowijoyo, Alwi
Sihab menyatakan bahwa apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di
Indonesia, maka harus ada satu syarat, yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama
masing-masing.
Seorang pluralis, dalam berintraksi dengan aneka ragam agama, tidak
saja dituntut untuk membuka diri, belajar, dan menghormati mitra dialognya,
tetapi juga harus commited terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap
demikianlah kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan dengan
konsep Bhineka Tunggal Ika.
Penghambat pluralisme
di Indonesia;
•
kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang
agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan
muncul sikap saling curiga yang berlainan
•
Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan
konflik-konflik dalam sejarah,
•
Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap
kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih
•
Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras,
etnis dan golongan tertentu
•
Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada
orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu
•
Penafsiran tentang misi atau dakwah yang
konfrontatif.
•
Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar