Pada
prinsipnya, aqidah Maturidiyah memiliki keselarasan dengan aqidah
Asy’ariyah. Itu ditunjukkan oleh cara memahami agama yang tidak secara
ekstrem sebagaimana Mu’tazilah. Yang sedikit membedakan keduanya adalah
masalah madzhab fiqhnya, Asy’ariyah menggunakan madzhab Syafi’I dan
Maliki, sedangkan Maturidiyah menggunakan madzhab Hanafi.
Asy’ariyah berhadapan langsung dengan kelompok Mu’tazilah sedangkan
Maturidiyah menghadapi berbagai kelompok yang cukup banyak. Diantara
kelompok yang muncul pada waktu itu adalah Mu’tazilah, Mujasimah,
Qaramithah dan Jahmiyah. Juga kelompok agama lain seperti Yahudi, Majusi
dan Nasrani.
Sikap tawasuth yang ditunjukkan Maturidiyah
adalah upaya pendamaian antara an naqli dan al ‘aqli (nash dan akal).
Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kesalahan apabila kita berhenti
berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql), sama juga salah apabila
kita larut tidak terkendali menggunakan rasio (‘aql). Menggunakan ‘aql
sama pentingnya dengan menggunakan naql. Sebab akal yang dimiliki oleh
manusia juga berasal dari Allah, karena itu dalam al Qur’an Allah
memerintahkan umat Islam untuk menggunakan akal dalam memahami
tanda-tanda (al ayat) kekuasaan Allah yang terdapat di alam raya. Dalam
al Qur’an misalnya ada kalimat “liqaumin yatafakkarun, liqaumin
ya’qilun, liqaumin yatadzakkarun, la’allakum tasykurun, la’allakum
tahtadun” dan lain sebagainya. Artinya bahwa penggunaan akal itu,
semuanya diperuntukkan agar manusia memperteguh iman dan taqwanya kepada
Allah SWT.
Yang sedikit membedakan dengan Asy’ariyah adalah
pendapat Maturidiyah tentang posisi akal terhadap wahyu. Menurut
Maturidiyah, wahyu harus diterima panuh. Tapi jika terjadi perbedaan
antara wahyu dan akal, maka akal harus berperan mentakwilkannya.
Terhadap ayat-ayat tasjim (Allah bertubuh) atau tasybih (Allah serupa
makhluk) harus ditafsirkan dengan arti majazi (kiasan). Contoh seperti
lafal “yadullah” yang arti aslinya “tangan Allah” ditakwil menjadi
“kekuasaan Allah”.
Tentang sifat Allah, Maturidiyah dan
Asy’ariyah sama-sama menerimanya. Namun, sifat-sifat itu bukan sesuatu
yang berada diluar dzat_Nya. Sifat tidak sama dengan dzat, tetapi tidak
dari selain Allah. Misalnya, Tuhan Maha Mengetahui bukanlah dengan
dzat_Nya, tetapi dengan pengetahuan (‘ilm)_Nya (ya’lamu bi ‘ilmihi).
Dalam persoalan “kekuasaan” dan “kehendak” (qudrah dan iradah) Tuhan,
Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
dibatasi oleh Tuhan sendiri. Jadi tidak mutlak. Meskipun demikian, Tuhan
tuhan tidak dapat paksa atau terpaksa berbuat apa yang dikehendaki_Nya.
Misalnya Allah menjanjikan orang baik masuk surge, orang jahat masuk
neraka, maka Allah akan menepati jani-janji tersebut. Tapi dalam hal
ini, manusia diberikan kebebasan oleh Allah menggunakan daya untuk
memilih antara yang baik dan yang buruk. Itulah keadilan Tuhan.
Karena manusia diberi kebebasan untuk memilih dalam berbuat, maka
menurut Maturidiyah, perbuatan itu tetap diciptakan oleh Tuhan. Sehingga
perbuatan manusia sebagai perbuatan bersama antara manusia dan Tuhan.
Allah yang mencipta dan menusia meng-kasab-nya. Dengan begitu manusia
yang dikehendaki adalah manusia selalu kreatif, tetapi kreatif itu tidak
menjadikan makhluk sombong karena merasa mampu menciptakan dan
mewujudkan. Tetapi manusia yang kreatif dan pandai bersyukur. Karena
kemampuannya melakukan sesuatu tetap dalam ciptaan Allah.
Disarikan dari buku Aswaja An Nahdliyah PWNU JATIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar