Rendah hati (tawadhu’) merupakan sifat yang sangat terpuji di sisi Allah dan bahkan sangat didambakan oleh kita semua. Tawadhu’ akan melahirkan berbagai sikap-sikap mulia, seperti menghargai pihak lain, tidak memotong suatu pembicaraan, saling menjaga dan menghormati perasaan masing-masing, anak kecil bersikap sopan santun kepada yang lebih berusia darinya, orang dewasa/tua pun bersikap kasih sayang kepada yang dibawahnya, serta merasa bahwa diri ini tidak ada yang sempurna, semua serba kurang dan tidak mungkin hidup sendiri-sendiri tanpa bekerja sama dengan selainnya. Bila sikap tawadhu’ ini tercermin pada diri kita niscaya akan terwujud sebuah kehidupan yang diliputi mawaddah wa rahmah (kehidupan sakinah yang penuh cinta kasih).
Hal ini sebagaimana petuah Al Imam Asy Syafi’i:
التَّوَاضُعُ يُوْرِثُ الْمَحَبَّةَ
“Sifat tawadhu’ akan melahirkan cinta kasih.”
Seiring dengan semakin tuanya zaman ini, terasa semakin sulit pula mencari dan menikmati suasana yang sakinah (tentram dan nyaman). Oleh karena itu dalam kajian ini akan dikupas secara ringkas tentang betapa urgennya (pentingnya) sikap tawadhu’ dan betapa besar pula pengaruhnya terhadap kemashlahatan (kebaikan) umat.
Perintah Tawadhu’ Sifat tawadhu’ merupakan sifat yang sangat dianjurkan, Allah berfirman (artinya):
“Janganlah kalian memuji diri kalian. Dia lah yang paling tahu tentang orang yang bertaqwa.” (An Najm: 32)
Demikianlah, Allah menutup pintu-pintu yang menjurus kepada takabbur (sombong) dengan melarang dari memuji-muji diri sendiri karena dari sinilah benih takabbur (sombong) datang.
Allah juga memerintahkan Rasul-Nya untuk berhias dengan akhlaq yang mulia ini, sebagaimana firman-Nya yang mulia (artinya):
“Rendahkanlah hatimu terhadap orang yang mengikutimu (yaitu) dari kalangan mu’minin.” (Asy Syu’ara’: 215)
Begitu juga Rasulullah , beliau senantiasa memerintahkan para shahabatnya untuk bersikap tawadhu’. Iyad bin Himar menceritakan bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan hati sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim atas yang lain.” (H.R. Muslim no. 2588)
Dari hadits ini kita dapat mengambil faedah yang cukup banyak diantaranya, bahwa tawadhu’ merupakan jembatan menuju keharmonisan, saling menghargai, keadilan dan kebajikan sehingga mewujudkan kondisi lingkungan masyarakat yang lebih dinamis dan kondusif. Hakekat Tawadhu’ Hakekat tawadhu’ adalah tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya, baik ketika ia suka ataupun duka. Merendahkan hati di hadapan sesamanya dan tidak menganggap dirinya berada di atas orang lain dan tidak pula merasa bahwa orang lain yang butuh kepadanya.
Fudhail bin ‘Iyadh, seorang ulama’ terkemuka ditanya tentang tawadhu’, maka beliau menjawab:
“Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta menerimanya dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin 2/329)
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang dibenci Allah dan Rasul-Nya . Rasulullah telah mendefinisikan sombong dengan sabdanya:
Dari hadits ini kita dapat mengambil faedah yang cukup banyak diantaranya, bahwa tawadhu’ merupakan jembatan menuju keharmonisan, saling menghargai, keadilan dan kebajikan sehingga mewujudkan kondisi lingkungan masyarakat yang lebih dinamis dan kondusif. Hakekat Tawadhu’ Hakekat tawadhu’ adalah tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya, baik ketika ia suka ataupun duka. Merendahkan hati di hadapan sesamanya dan tidak menganggap dirinya berada di atas orang lain dan tidak pula merasa bahwa orang lain yang butuh kepadanya.
Fudhail bin ‘Iyadh, seorang ulama’ terkemuka ditanya tentang tawadhu’, maka beliau menjawab:
“Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta menerimanya dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin 2/329)
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang dibenci Allah dan Rasul-Nya . Rasulullah telah mendefinisikan sombong dengan sabdanya:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَ غَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud )
Maka wajib bagi setiap mukmin untuk menerima kebenaran dari siapapun. Walaupun kebenaran itu bertentangan dengan keyakinannya, maka sesungguhnya ini merupakan kemuliaan baginya di sisi Allah dan di sisi makhluq-Nya dan lebih menjaga kehormatannya. Dan jangan sekali-kali beranggapan bahwa kembali kepada kebenaran itu hina, justru dengan demikian akan mangangkat derajat dan menambah kepercayaan orang. Adapun yang enggan dan tetap mempertahankan kesalahannya serta menolak kebenaran, maka ini adalah takabbur. Saudaraku! Marilah kita renungkan kembali kehidupan umat-umat terdahulu. Iblis, apa yang menyebabkannya terkutuk? Begitu juga Fir’aun dan bala tentaranya, serta Qarun beserta anak buahnya dan harta yang selalu dibanggakannya? Mereka adalah orang-orang yang telah dikutuk/dibinasakan oleh Allah disebabkan selalu menentang kebenaran dengan kesombongan dan membuang jauh-jauh sifat tawadhu’.
Pemilik Sifat Tawadhu’ Kemuliaan tawadhu’ sering tercermin pada manusia pilihan baik pada umat ini ataupun umat sebelumnya. Ingatlah ketika Luqman Al Hakim, seorang hamba yang shalih menasehati anaknya (artinya):
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan jangan pula kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang angkuh dan menyombongkan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.” (Luqman: 18-19)
Pemilik Sifat Tawadhu’ Kemuliaan tawadhu’ sering tercermin pada manusia pilihan baik pada umat ini ataupun umat sebelumnya. Ingatlah ketika Luqman Al Hakim, seorang hamba yang shalih menasehati anaknya (artinya):
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan jangan pula kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang angkuh dan menyombongkan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.” (Luqman: 18-19)
Ulama Ahli Tafsir menerangkan bahwa maksud ’sederhanalah kamu dalam berjalan’ adalah berjalanlah dengan tawadhu’ dan tenang, serta tidak berjalan dengan menyombongkan diri. Begitu juga Rasulullah , sebagai manusia terbaik dan teladan bagi umat manusia, beliau menolak julukan/gelar yang berlebihan untuk diri beliau. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik , bahwa orang-orang pernah berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami, wahai junjungan kami, anak junjungan kami.” Maka beliau pun bersabda:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ ، لاَيَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ أَناَ مُحَمَّدٌ عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai manusia, katakanlah dengan perkataan kalian (yang benar yaitu yang pertama; ‘wahai Rasulullah atau wahai Nabiyullah, -pent). Jangan sampai kalian dijerumuskan syaithan. (Hanyalah) aku ini Muhammad, hamba dan utusan Allah. Aku tidak suka jika kalian mengangkat derajatku di atas derajat yang telah diberikan oleh Allah kepadaku.” (HR. An Nasa’i ) Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tawadhu’nya Rasulullah .
Dan di antara sifat tawadhu’ Nabi adalah kebiasaan beliau yang senantiasa memberikan pelayanan kepada keluarganya. Aisyah, istri Rasulullah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan beliau ketika di rumah, maka Aisyah menjawab:
يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Beliau selalu berkhidmat kepada keluarganya dan apabila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.” (HR. Al Bukhari )
Dan di antara sifat tawadhu’ beliau, sebagaimana yang dikisahkan oleh Anas bin Malik , beliau berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ يَزُوْرُ الأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَىصِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ بِرُؤُسِهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ
“Rasulullah biasa mengunjungi orang-orang Anshar lalu megucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendo’akan kebaikan untuk mereka.” (HR. An Nasa’i)
Keteladanan yang baik ini juga diikuti oleh shahabatnya. Anas bin Malik pernah melewati kerumunan anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam dan mendo’akan mereka. Kemudian beliau mengatakan: كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُهُ “Nabi biasa melakukannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlaq yang baik, serta termasuk pendidikan, pengajaran dan termasuk bimbingan kepada anak-anak, disebabkan apabila anak-anak diberi salam, maka mereka akan terbiasa dengannya dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.” (Syarh Riyadhush Shalihin) Sikap tawadhu’ beliau juga ditunjukkan ketika makan.
Keteladanan yang baik ini juga diikuti oleh shahabatnya. Anas bin Malik pernah melewati kerumunan anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam dan mendo’akan mereka. Kemudian beliau mengatakan: كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُهُ “Nabi biasa melakukannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlaq yang baik, serta termasuk pendidikan, pengajaran dan termasuk bimbingan kepada anak-anak, disebabkan apabila anak-anak diberi salam, maka mereka akan terbiasa dengannya dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.” (Syarh Riyadhush Shalihin) Sikap tawadhu’ beliau juga ditunjukkan ketika makan.
Mari kita perhatikan penuturan Anas bin Malik berikut ini: “Apabila Rasulullah makan, beliau menjilati ketiga jari-jarinya.” Kemudian Anas mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Apabila suapan salah seorang di antara kalian jatuh, maka ambillah dan bersihkan kotorannya, serta makanlah dan jangan membiarkan makanan itu dimakan setan.” Anas berkata: “Beliau juga menyuruh agar membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di piring. Beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian tidak tahu, bagian manakah dari makanan tersebut yang mengandung barakah.”(HR. Muslim no. 2034)
Hadits ini disebutkan oleh Al Imam An Nawawi di dalam Riyadhush Shalihin bab At Tawadhu’ dan Merendahkan Hati Terhadap Kaum Mukminin. Begitu banyak teladan yang baik dari orang-orang terbaik yang melambangkan sikap tawadhu’. Semua ini tiada menambah mereka kecuali kemuliaan demi kemuliaan. Tinggallah kembali pada diri kita. Sudahkah kita memilikinya?
Hadits ini disebutkan oleh Al Imam An Nawawi di dalam Riyadhush Shalihin bab At Tawadhu’ dan Merendahkan Hati Terhadap Kaum Mukminin. Begitu banyak teladan yang baik dari orang-orang terbaik yang melambangkan sikap tawadhu’. Semua ini tiada menambah mereka kecuali kemuliaan demi kemuliaan. Tinggallah kembali pada diri kita. Sudahkah kita memilikinya?
Keutamaan Tawadhu’ Sikap tawadhu’ akan menghasilkan buah yang luar biasa baik di dunia maupun di akhirat kelak. Diantaranya:
1. Allah akan meninggikan derajat orang yang tawadhu’.
Sifat tawadhu’ bukanlah suatu kehinaan, justru dengan ketawadhu’an dapat mengangkat derajat seseorang. Kenapa? Karena pada dasarnya setiap manusia menginginkan untuk dihormati, dan diperlakukan sama dengan pihak lainnya. Sehingga bila ada seseorang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’, menghormati orang lain, tidak meremehkannya, menghargai pendapatnya, tentu pihak lainnya pun akan memperlakukan sama bahkan bisa lebih dari itu. Hal ini merupakan suatu realita yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang memiliki sifat mulia ini akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya dan akan dicintai oleh mereka. Berbeda dengan orang yang sombong, orang-orang akan menganggapnya rendah sebagaimana dia menganggap orang lain rendah, tidak akan disebut-sebut kebaikannya dan orang-orang pun membencinya.
Oleh karena itu Rasulullah bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ , وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا , وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Tidak akan berkurang suatu harta karena dishadaqahkan, dan Allah tidak akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang merendahkan hatinya karena Allah, melainkan Allah angkat derajatnya.” (HR. Muslim no. 556 dari hadits Abu Hurairah )
2. Meraih al jannah.
Tentu orang-orang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’, mereka itu adalah sebenar-benarnya mushlihun. Yaitu orang-orang yang suka mendatangkan kebaikan dan kedamaian. Karena sikap tawadhu’ tersebut akan melahirkan akhlak-akhlak terpuji lainnya dan akan menjauhkan orang-orang yang berhias dengannya dari sikap-sikap amoral (negatif) yang dapat merusak keharmonisan masyarakat. Oleh karena itu Allah menjanjikan al jannah bagi orang-orang yang memiliki sikap tawadhu’ bukan kepada orang-orang yang sombong, sebagaiamana dalam firman-Nya (artinya):
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Qashash: 83)
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Qashash: 83)
Rasulullah bersabda:
لاَيَدْخُلُ الجنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk al jannah barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar semut.” (H.R. Muslimin no. 91)
Demikianlah kajian kali ini, semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amien, Ya Rabbal Alamin.
Ditulis oleh abuamincepu di/pada Maret 26, 2009
Sumber : Internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar