Akhir-akhir ini
kaum muslimin dihadapkan dengan sebuah ujian berat berupa ancaman
perpecahan mengatasnamakan perbedaan aliran, syariat, bahkan perbedaan
aqidah. Sadar atau tidak sadar, hal ini sudah seharusnya kita hindari,
karena jika kita terlena terhadap perbedaan-perbedaan tersebut maka umat
muslim sendiri lah yang akan menanggung segala akibatnya, dan akan
semakin membuat musuh-musuh Islam tertawa dan berpesta serta semakin
memojokkan posisi kaum muslimin.
Perbedaan-perbedaan tersebut semakin hari kian meruncingkan masalah
dengan saling mempersalahkan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh
ada suatu golongan yang mencibir amaliah golongan lain dengan menganggap
apa yang tidak sesuai dengan yang mereka kerjakan serta mereka yakini
adalah sebuah perbuatan bid’ah yang ganjarannya adalah neraka. Lebih
parahnya lagi mereka yang mencibir tidaklah sepenuhnya memahami apa yang
mereka pedomani. Mereka bahkan tidak mau menerima argument dari
golongan lain serta menganggap paham mereka lah yang paling benar. Oleh
karenanya dalam kesempatan yang singkat ini khotib akan sedikit mengulas
tentang fasal bid’ah berserta dasar-dasar hokum yang berkaitan dengan
bid’ah, khotib berharap dengan pemaparan ini kita semua dapat membuka
hati kita untuk lebih dapat menerima pandangan orang lain, membuka
cakrawala pemikiran kita bahwa ada pendapat mengenai bid’ah dengan versi
lain dari apa yang pernah kita ketahui dan kita yakini, sehingga
kedepan kita tidak terjebak dalam perdebatan-perdebatan tidak berujung.
Dalam kamus Al Munawir kata
بِدْعَةٌ yang merupakan jama’ dari kata بِدَعٌsecara lughowi diartikan
sebagai “perkara baru dalam agama”. Sedangkan secara istilahi terdapat
bermacam-macam makna diantaranya seperti yang termaktub dalam kitab
Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari.
Dalam kitab tersebut istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah
"sunnah". Seperti dikutip Syeikh Hasyim Asy’ari, menurut Syaikh Zaruq
dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya
perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama
itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.
Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW yang terdapat dalam kitab Riyadlus Sholihin
Hal. 62 disebutkan :
عَنْ أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ
أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ
رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فىِ
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. (متفق عليه)
Artinya : ”Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami
(agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara
tersebut tertolak”.
Nabi juga bersabda yang termaktub dalam kitab Riyadlus Solihin hal. 62:
Nabi juga bersabda yang termaktub dalam kitab Riyadlus Solihin hal. 62:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ
الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله, وَ خَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, وَ شَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا, وَ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه مسلم
Yang artinya : ”Amma ba’du, maka sesungguhnya perkataan yang paling
baik adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad,
dan seburuk-buruk perkara adalah hal yang baru dan setiap bid’ah adalah
sesat”.
Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua
perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin
saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh
syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’). Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi
dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa perbuatan bid’ah yang dimaksud
dalam hadist tersebut adalah hal-hal yg tidak sejalan dengan Alqur’an
dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah SWT:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ ...الأية
Yang artinya : “Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).
Terdapat sebuah hadist Nabi juga yang berbunyi كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ yang artinya : “Semua bid’ah itu adalah sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Jika kita memahami redaksi hadist ini secara lafdziah maka sudah pasti dapat diambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang baru dalam agama (dalam hal ini segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman nabi) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah sudah pasti sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Namun demikian, mari coba kita kaji dari sudut pandang ilmu
balaghogh. KH. A.N. Nuril Huda, dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja)
Menjawab" menjelaskan kajian terhadap hadist tersebut Menurut ilmu
balaghogh. Dalam kajian ilmu balaghogh disebutkan bahwa setiap benda
pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat,
sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek,
gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat
mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik,
mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau
dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama
dikatakan duduk. Bid’ah itu merupakan kata benda, yang sudah barang
tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin
saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak
ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas. Hal seperti ini dalam
Ilmu Balaghah dikatakan; حدف الصفة على الموصوف
yaitu “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis
sifat bid’ah maka akan terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama; كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ Yang
artinya : “Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk
neraka”. Hal ini tidak mungkin, bagaimana bisa sifat baik dan sesat
berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu
tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua; كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر Yang artinya : “Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Hal yang sama dengan kajian ilmu balaghogh diatas terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya pada QS Al-Kahfi : 79 yang berbunyi :
وَكَانَ وَرَاءهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْباً ﴿٧٩﴾
artinya: “Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”.
Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena dalam kondisi normal kapal yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة.
Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena dalam kondisi normal kapal yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة.
Kemudian kajian lain terhadap hadist tersebut adalah pendapat dari
Al-Imam Al-Hafidz Al-Nawawi yang menyatakan dalam kitab Syarh-nya atas
kitab Shohih Muslim, bahwa kata كل adalah bermakna sebagian besar bukan
bermakna seluruh, sehingga hadist itu oleh beliau dimaknakan “sebagian
besar perbuatan bid’ah itu adalah sesat”. Pemaknaan lafadz كل dengan
makna sebagian juga terdapat dalam kajian ilmu lughotil arobiyah.
Bertolak dari paparan terkait
dengan pengertian bid’ah sebagaimana telah diuraikan diatas, Timbul
suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’
yang tidak ada pada zaman Nabi SAW pasti jeleknya? Jawaban yang
bijaksana adalah, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan
mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek?. Kutipan2 pendapat ulama’ besar yang mewakili 2 zaman berbeda
yaitu Imam Syafi’i dari kalangan ulama salaf dan Prof. Dr. As Sayyid
Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani dari kalangan ulama kholaf.
Menurut Imam Syafi’i:
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
Yang artinya : “Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela,
bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang
bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.
Sedangkan menurut sebuah kutipan yang dinukil dari sebuah kitab yang
berjudul : Dzikrayaat wa Munaasabaat karya Prof. Dr. As Sayyid Muhammad
bin Alwi Al Maliki Al Hasani yang dialih bahasakan oleh KH. Muhammad
Bashori Alwi dalam sebuah bukunya disebutkan : bukan semua yang tidak
diamalkan oleh ulama’ salaf dan belum terjadi pada masa pertama (zaman
nabi) itu adalah bid’ah yang diingkari lagi jelek, yang diharamkan orang
melakukannya dan wajib diingkarinya. Tetapi hal-hal baru yang terjadi
itu haruslah dihadapkan kepada dalil-dalil syar’i. Lantas apa yang
mengandung maslahat hukumnya adalah wajib. Atau yang mengandung
keharaman maka hukumnya haram. Atau yang mengandung kemakruhan maka
hukumnya makruh. Atau yang mengandung kemubahan maka hukumnya mubah.
Atau yang mengadung mandub (sunnah) maka hukumnya adalah mandub
(sunnah).
Hal
Hal
ini juga diperkuat oleh hadist Nabi yang termaktub dalam kitab Riyadlus Sholihin Halaman 63 yang berbunyi :
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئٌ, وَمَنْ سَنَّ فِى
اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ.
رواه مسلم
Yang artinya : “Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik
dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut
mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun,
dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan
mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak
mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.
Dan hadist Nabi yang lain yang termaktub dalam kitab Sunan Ibnu Majah Juz I hal. 414 :
إِنَّ أُمَّتِي لَنْ
تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ
بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. رواه ابن ماجة عن انس ابن مالك
Yang artinya : “Bahwa ummatku tidak akan sepakat dalam kesesatan,
bila kamu melihat perbedaan pendapat diantara kalian, maka ikutilah
pendapat mayoritas”. HR Ibnu Majah dari Anas bin Malik.
Dalam Kitab Fathul Bari dijelaskan : "Pada mulanya, bid'ah dipahami
sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam
pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena
itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai
dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika
bi’ah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika
tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah:
boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai
dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".
Dari semua pembahasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
secara garis besar bid’ah dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu : Bid’ah
Hasanah dan Bid’ah Sayyiah. Dan untuk mengkategorikan sebuah perbuatan
bid’ah itu tergolong hasanah atau sayyiah maka diperlukan kajian
mendalam dengan berdasarkan dalil-dalil syar’i baik qoth’i maupun dzonny
dengan tetap mempertimbangkan maqoshid asy syar’iyyah dari
perbuatan-perbuatan yang dinilai bid’ah tersebut.
Ma’asyirol muslimin rahimakumullah…
Contoh perbuatan bid’ah yang pernah dilakukan sahabat-sahabat
terdekat nabi yang termasuk khulafaur rasyidin, perbuatan-perbuatan
dimaksud adalah :
1. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.
2. Pemberian titik-titik dan syakal/baris-baris pada tulisan Al Qur’an yang baru dilakukan pada masa kekholifahan Sayyidan Ustman bin Affan.
3. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".
4. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-¬nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.
1. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.
2. Pemberian titik-titik dan syakal/baris-baris pada tulisan Al Qur’an yang baru dilakukan pada masa kekholifahan Sayyidan Ustman bin Affan.
3. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".
4. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-¬nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.
Dari keempat contoh diatas, mari kita focus terhadap dua contoh
pertama yang tentunya yang tidak pernah diperdebatkan yaitu mengenai
kodifikasi (pembukuan) Al Qur’an dan pemberian titik-titik dan syakal
pada tulisan Al Qur’an. Kedua hal tersebut merupakan contoh konkrit
bid’ah hasanah, karena pada zaman Rasulullah SAW Al Qur’an hanya dihafal
atau setidak-tidaknya ditulis di pelepah-pelepah kurma dan juga
batu-batu (tanpa titik dan tanda baca) dalam keadaan tercerai berai,
tidak tersusun sistematis dalam bentuk surat-surat dan Juz-juz seperti
yang kita jumpai pada mushaf Al Qur’an yang ada saat ini. Bagaimana
jadinya jika Al Qur’an baik secara tulisan maupun penggandaan kondisinya
masih tetap seperti pada zaman Rasulullah SAW. Jika hal itu terjadi
khotib rasa akan sulit bagi orang Indonesia khususnya membedakan apakah
itu merupakan huruf (ب, ت, atau ي) dan itu akan berakibat fatal dengan
berubahnya makna dari ayat yang dibaca. Terhadap kasus kodifikasi Al
Qur’an ini apakah masih ada yang menggap ini adalah dlolalah (sesat)?
Akhirnya untuk menutup khutbah
pada siang hari ini, khotib mengajak kepada diri khotib pribadi dan para
jamaah sekalian untuk selalu berpikir jernih dan tidak mudah memperolok
orang atau golongan lain terhadap amaliah yang mereka kerjakan selama
amalan itu memiliki dasar hukum. Jangan bersifat sombong dengan
beranggapan bahwa amaliah yang kita lakukan adalah yang paling benar dan
telah sesuai dengan sunnah Rasul, karena sifat sombong adalah hanya
milik Allah SWT. Mari kita berpikir ‘arif menyikapi setiap perbedaan
yang terjadi diantara kita. Jangan jadikan perbedaan menjadi pemicu
perpecahan. Mari kita ingat sebuah pesan Rasulullah SAW bahwasannya
perbedaan yang terjadi pada ummatku adalah sebuah rahmat, tentunya pesan
Nabi tersebut hanya berlaku bagi orang-orang yang mau berfikir,
sedangkan bagi orang-orang yang malas berfikir sudah barang tentu
perbedaan akan menghadirkan perpecahan ummat. Semoga kita selalu diberi
petunjuk oleh Allah SWT dan selalu berada dalam naungan rahmat dan
rahimNYA, dan mendapat syafaat baginda Rasulullah SAW di hari akhir
nanti. Amin. Wallahu a’lam bisshowaab.
Sumber : NU Online
Ustdz. Aris Habibuddin Syah, S.Hi
Ruteng-Flores-NTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar