Masalah bid’ah adalah satu masalah yang sulit dan rumit karena ia menyangkut banyak bidang dalam masalah agama kita. Ia sangkut bersangkut dengan banyak hadits yang termaktub dalam beberapa kitab hadits, dan tali bertali juga dengan banyak amalan sahabat-sahabat Nabi.
Banyak orang yang mengatakan : “ini bid’ah, itu bid’ah, ini sesat, itu dholalah”, pada hal ia tidak mendalami, bahkan ta’rif bid’ah pun ia tak tahu.
Ulama-ulama dalam lingkungan Madzhab Syafi’I sudah banyak membicarakan masalah bid’ah ini dalam kitabnya masing-masing diantaranya Imam Syafi’I sendiri, ‘Izzuddin bin Abdis Salam, Al Qarafi, Suyuthi, Ibnu Hajar al Asqalani, Ibnu Hajar al Haitami, dan lain-lain.
Bacalah baik-baik, tela’ah-lah dengan tenang, dengan fikiran yang sehat.
I. Banyak sekali ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi dengan secara tidak langsung mengancam terhadap bid’ah dan ahli bid’ah. Oleh karena itu tidak seorangpun diantara Ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah (Ahlussunnah= Pengikut Sunnah Nabi saw, WalJama’ah= golongan terbesar,_red) yang bermadzhab Syafi’I yang menganjurkan umat Islam untuk membuat bid’ah karena beliau-beliau tahu akan bahaya dan akhibatnya.
Berikut salah satu haditsnya :
Artinya :
Tuhan Allah enggan menerima ibadat ahli bid’ah, kecuali kalau ia meninggalkan bid’ahnya itu.” (HR.Ibn Majah – Sunan Ibnu Majah I – hal.25)
II. ARTI BID’AH
Menurut bahasa Arab, bid’ah berarti : “Sesuatu yang diadakan tanpa contoh yang terdahulu”.
Menurut Syara’
PERLU DIKETAHUI terlebih dahulu bahwa definisi bid’ah menurut syari’at Islam tidak tersebut dalam Qur’an maupun Hadits.
Karena tugas Qur’an Hadits tidaklah untuk membuat definisi melainkan membawa dakwah Islamiyah. Nabi pun bukan di utus untuk membuat definisi, tetapi hanya menjelaskan isi al Qur’an dan menyampaikan syari’at Islam.
Syeikh Izzuddin bin Abdus Salam seorang ulama besar dalam lingkungan madzhab imam Syafi’I menerangkan dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam” menyatakan bahwa segala pekerjaan zaman rasulullah, adalah “bid’ah” sekalipun pekerjaan itu baik.
Misal : mengumpulkan ayat-ayat Qur’an kedalam 1 mushaf, membukukan hadits Nabi, membukukan fiqh, tafsir Qur’an, ushuluddin dan tasawuf, membangun madrasah, mendirikan sekolah umum, merayakan Maulid Nabi dan isra mi’raj, Naik hajji kemekkah dengan pesawat, membuat mobil, memakai listrik, memakai sarung dan peci, semua pekerjaan tsb termasuk bid’ah, karena hal itu semua belum ada dan belum dikenal pada zaman Nabi saw.
Begitu juga dalam mengerjakan pekerjaan yang jelek yang tidak ada di zaman Nabi disebut bid’ah.
Pertama,
Menurut Riwayat Abu Nu’im, Imam syafi’I pernah berkata :
Artinya : “Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah tercela ialah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi”. (Fathul Bari, juz XVII – hal.10)
Kedua,
Sesuai dengan Abu Nu’im, Imam Baihaqi ahli hadits yang terkenal menerangkan dalam kitab “Manaqib Syafi’i” bahwa Imam Syafi’I pernah berkata :
Artinya : “Pekerjaan yang baru itu ada 2 macam: 1. pekerjaan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Al Qur’an, Sunnah Nabi, Atsar/Ijma’, ini dinamakan Bid’ah Dhalalah. 2. Pekerjaan keagamaan yang baik, yang tidak menentang Qur’an, Sunnah Nabi, Atsar/Ijma’, adalah Bid’ah juga, tapi tidak tercela”
Dengan demikian tidaklah gampang mengatakan/ mencap sesuatu dengan “ini bid’ah itu bid’ah”. Tetapi semua pekerjaan keagamaan yang baru harus diteliti terlebih dahulu.
III. Imam Suyuthi seorang Ulama besar dalam lingkungan Madzhab Syafi’I, pengarang kitab “Tanwirul Halik Syarah Muwatha’ Malik”, Syarah Sunan Nisai, dan pengarang seperdua dari tafsir Jalalaen, berkata ;
Artinya : “Maksud yang asal dari perkataan bid’ah ialah sesuatu yang baru diadakan tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at, bid’ah adalah lawan sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi saw. Kemudian hukum bid’ah terbagi kepada hukum yang lima”.
5 hukum dalam Islam ada 5, yang artinya ada bid’ah terbagi menjadi 5, yakni bid’ah wajib, sunnah, haram, mubah, dan jaiz.
IV. Bid’ah yang TERLARANG dalam agama hanyalah Bid’ah Tauhid. Adapun urusan syariah keduniaan kita boleh membuat sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi (Lihat no. II, misal,_red) selama perbuatan tersebut tidak dilarang/ melanggar hukum agama. Sedangkan dalam hal keagamaan seperti Sholat 5 waktu dijadikan 6, puasa romadhon dibuat 2 bulan, dan lain-lain itu semua adalah bid’ah dholalah karena dilarang keras oleh syari’at Islam.
Dalam hadits disebutkan, Nabi Muhammad saw bersabda, yang artinya :
“Kamu lebih tahu (dari saya) tentang urusan duniamu” (H.R. Imam Muslim –syarah muslim juz XV hal.118).
____“Dari buku 40 Masalah Agama jilid III, karya K.H.Siradjuddin Abbas, penerbit Pustaka Tarbiyah”____
Tidak ada komentar:
Posting Komentar