YA ALLAH, TUMBUHKANLAH DALAM DIRI DAN HATI KAMI INI, RASA CINTA KEPADA-MU SERTA PARA NABI DAN RASUL-MU......

Rabu, 09 Januari 2013

Teologi Toleransi KH. Hasyim Asy’ari

Keberagamaan kita sekarang ini dihadapkan pada tantangan keragaman yang semakin kompleks. Munculnya sejumlah aliran dan ormas tak pelak memanaskan tensi sentiment perbedaan keyakinan di level elit maupun akar rumput. Perbedaan yang seharusnya dipahami sebagai keniscayaan kebhinekaan jutsru menjadi sumbu konflik yang seakan-akan tak berkesudahan.

Akhir-akhir ini kita bahkan sering mendengar dan menyaksikan berita saling usir antar aliran yang terjadi hingga ke pelosok desa-desa. Hal itu tentu dipicu oleh multifaktor, baik politik, ekonomi, maupun teologis seperti khutbah keagamaan di masjid-masjid dan ceramah di majlis ta’lim yang acap menyerukan
teologi kebencian antar kelompok. Khatib dan da’i bukannya mengayomi, tetapi justru menghakimi dengan cara menyesatkan dan mengkafirkan kelompok lain yang tak seideologi.

Fenomena saling menyetankan (mutual satanization) tersebut harus segera disudahi guna meredam gejolak konflik yang setiap saat bisa mencuat baik di kota maupun di desa. Alangkah bijaksananya apabila tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, Syiah, MTA, HTI, Jamaah Tabligh, PKS, FPI, dan lain-lain secara massif mereorientasi dakwahnya dari yang bersifat rivalistik-antagonistik menjadi dakwah dialogis yang simpatik dan empatik.

Tokoh-tokoh agama dari lintas aliran bertugas menyampaikan pesan-pesan keterbukaan dalam menyikapi perbedaan dan mengikis fanatisme di kalangan jamaahnya masing-masing. Para ulama kuno telah mengingatkan bahwa fanatisme adalah penyakit yang menjangkiti penganut agama-agama dan sekte-sekte. Berkaca dari hal itu, maka para Kiai pun dituntut secara konsisten memaksimalkan perannya sebagai pengayom dan peace-makers yang berbasis pada slogan NU yang cukup terkenal, yaitu tawasuth dan tasamuh (moderatisme dan toleransi).

KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, pada tahun 1360 H. telah menulis kitab yang berjudul al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muaqathaat al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Penjelasan mengenai Larangan Memutus Hubungan Kekeluargaan, Kekerabatan, dan Persaudaraan). Dilihat dari judulnya saja, sudah jelas bahwa kitab tersebut ditulis untuk mensosialisasikan rekonsiliasi konflik antar umat. Sebagai ulama pakar al-Quran dan hadits, KH. Hasyim Asy’ari mengutip sejumlah ayat dan hadits yang menganjurkan keharmonisan dan kerukunan.

KH. Hasyim Asy’ari juga mendorong warga Nahdhiyyin agar meniru keharmonisan para ulama meskipun mereka berbeda pendapat. Imam Syafi’i dengan rendah hati sudi tidak membaca doa Qunut saat ziarah ke makam Imam Abu Hanifah dengan alasan ingin menghormati Abu Hanifah yang tidak menganjurkan doa Qunut. Namun ajaran toleransi tersebut hingga kini tidak dijadikan panutan oleh sebagian warga Nahdhiyyin yang masih mempersoalkan Muhammadiyah yang tidak berdoa Qunut. Sikap rendah hati Imam Syafi’i tersebut sangat layak dijadikan acuan sikap warga Nahdhiyin dalam menyikapi perbedaan. KH. Hasyim berulang-ulang menegaskan bahwa perbedaan pendapat seyogianya tidak menyebabkan permusuhan dan konflik. Beliau menulis:

“Jika kalian sudah mengetahui keharmonisan ulama di atas, maka fahamlah bahwa permusuhan dan perpecahan yang terjadi di antara kita adalah karena rayuan setan, rivalitas yang tidak sehat, saling sombong, dan menuruti hawa nafsu” (al-Tibyan. Hlm. 16).

Dalam Muqadimah Qanun Asasi NU, KH. Hasyim kembali menegaskan bahwa umat yang bersatu bagaikan satu tubuh. Individu-individu umat bagaikan bagian-bagian anggota tubuh. Masing-masing anggota memiliki peran dan saling membutuhkan. Dengan perspektif sosiologis dan historis, beliau mengingatkan warga Nahdhiyyin dan umat beragama;

“Semua manusia membutuhkan perkumpulan dan interaksi karena ada interdependensi antar individu dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bersama. Persatuan, ikatan hati, dan kekompakan termasuk sebab utama kebahagiaan dan perekat cinta yang terkuat. Dengan persatuan, banyak sekali negara maju dibangun, kepemimpinan diraih, dan kemakmuran merata. Perpecahan hanya akan menyebabkan kelamahan, kehinaan, dan kegagalan di setiap zaman. Bahkan perpecahan dapat memicu kerusakan, stagnansi, kehancuran, dan aib” (Muqadimah Qanun Asasi. Hlm. 22&23).

Spirit toleransi yang disuarakan oleh KH. Hasyim Asy’ari tersebut hendaknya menjadi dasar perjuangan warga Nahdhiyyin untuk menjalin kerukunan umat beragama di Indonesia. Bagi beliau, perbedaan adalah keniscayaan sedangkan menjaga keharmonisan adalah kewajiban karena keharmonisan adalah syarat bagi kemajuan sebuah bangsa dan kebahagiaan bersama. Wallahu a'lam.


Oleh: Irwan Masduqi

1 komentar:

  1. barakallah fikum.. semoga setiap torehan pena, dan keseriusan dalam menulis guna untuk memberikan keselarasan dalam beragama, menjadi nilai ibadah khusus embak di mata ALLAH swt, amin..

    BalasHapus