Guru kami, Syaikh Burhanuddin biasa memulai mengaji pada hari Rabu.
Beliau melakukan hal itu berdasarkan hadist nabi yang berbunyi, “Tidak
ada sesuatu yang dimulai pada hari Rabu, kecuali akan menjadi
sempurna.”
Abu Hanifah meriwayatkan hadist ini dari gurunya, Imam Ahmad bin Abd.
Rasyid. Abu Hanifah juga biasa melakukan hal ini.
Aku pernah mendengar orang yang terpercaya berkata bahwa Syaikh Abu Yuusf Al Hamdany biasa memulai pekerjaan yang baik pada hari Rabu.
Aku pernah mendengar orang yang terpercaya berkata bahwa Syaikh Abu Yuusf Al Hamdany biasa memulai pekerjaan yang baik pada hari Rabu.
Kebiasaan ini baik dan benar karena hari Rabu, adalah hari di mana
cahaya diciptakan.
Hari Rabu adalah hari naas bagi orang kafir, tapi bagi orang mukmin
adalah hari yang penuh berkah.
Adapun ukuran dalam belajar bagi orang yang baru memulai, menurut
cerita Abu Hanifah dari Syaikh Umar bin Abi Bakr bahwa beliau berkata, “Seharusnya
pelajar menghafal kitab yang dibaca lalu memahami isinya. Kalau sudah
paham baru menambah sedikit demi sedikit. Setiap kitab minimal dibaca
dua kali. Tapi kalau kitabnya tebal harus diulang-ulang sampai sepuluh
kali. Cara belajar seperti ini harus dibiasakan oleh tiap-tiap pelajar.”
Bahkan ada yang berkata, “Harus diulang-ulang sampai seribu
kali.” Sebaiknya murid itu memulai dari kitab yang lebih mudah
dimengerti. Syaikh Syarifuddin berkata, “Cara yang benar menurutku,
pelajar yang baru mulai mengaji, sebaiknya meniru kebiasaan yang
dilakukan oleh para ulama. Mereka menganjurkan para pelajar supaya
memulai dari kitab yang kecil-kecil, karena disamping lebih mudah
dipahami, juga tidak membosankan, dan lebih melekat.”
Setelah benar-benar hafal dan mengerti, pelajar harus mencatatnya,
karena hal itu banyak manfaatnya di kemudian hari. Pelajar sebaiknya
tidak menulis pelajaran yang belum dipahami, sebab hal itu akan
menimbulkan kerancuan, menghilangkan kecerdasan dan menyia-nyiakan
waktu.
Seyogyanya pelajar berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang
diterangkan oleh gurunya. Kemudian diulang-ulang sendiri beberapa kali.
Dan direnungkan supaya benar-benar mengerti. Karena mendengar satu
kalimat lalu dihafal dan dimengerti, itu lebih baik daripada mendengar
seribu kalimat tapi tidak paham.
Dikatakan: Hafal dua huruf lebih daripada mendengar dua pikul, dan
paham dua huruf lebih baik daripada hafal dua pikul. Jika seseorang
meremehkan pemahaman dan tidak mau berusaha satu atau dua kali, maka ia
akan terbiasa demikian, sehingga kalimat yang mudah pun akan sulit
dipahaminya.
Oleh karena itu seharusnya dia berusaha, memahami pelajarannya sambil
berdoa kepada Allah. Dan Allah tidak akan mengecewakan orang yang
berharap kepada-Nya.
Syaikh Qiyamuddin Hammad bin Ibrahim bin Ismail Ash-Shaffar membaca
syairnya Qadhi Khalil bin Ahmad Sarhasiy, “Carilah ilmu dengan
sungguh-sungguh sampai kamu merasa nikmatnya mencari ilmu dan tetaplah
mempelajarinya dengan cara yang terpuji. Jika kamu telah memahami suatu
pelajaran, maka ulangilah, kemudian kukuhkanlah dalam hati
sekukuh-kukuhnya, setelah itu catatlah ia, karena kalau sewaktu-waktu
kamu lupa, kamu dapat mempelajarinya kembali.”
Jika kamu sudah merasa benar-benar mengerti dan tidak khawatir lupa,
maka bergegaslah mengkaji pelajaran yang lain, dan berusaha memahami
pelajaran yang baru.
“Amalkan ilmumu kepada manusia agar ilmumu hidup. Jangan menjauhi
orang-orang yang berilmu. Jika kamu menyembunyikan ilmu maka Allah akan
membuatmu lupa sehingga kamu kelihatan seperti orang bodoh dan tumpul
akalnya. Dan pada hari kiamat nanti kamu akan dikalungi apinya neraka
sehingga tubuhmu hangus.”
Para santri atau pelajar harus sering mendiskusikan suatu pendapat
atau masalah dengan teman-temannya. Diskusi tersebut harus dilakukan
dengan tertib atau tenang. Tidak gaduh, tidak emosional. Karena tertib
dan tenang dalam berpikir adalah tiangnya musyawarah. Dan tujuan
musyawatah adalah mencari kebenaran. Tujuan itu akan tercapai bila
orang-orang yang terlibat dalam diskusi atau musyawarah tersebut
bersikap tenang, benar dalam berpikir, dan lapang dada. Sebaiknya, hal
itu tidak akan berhasil bila timbul kegaduhan dan saling emosional.
Jika tujuan diadakannya diskusi tersebut untuk saling mengalahkan
hujah temannya, maka tidak halal. Diskusi itu halal kalau tujuannya
untuk mencari kebenaran. Sedangkan mengaburkan persoalan atau jawaban,
atau memberi tanggapan dengan cara yang tidak semestinya, juga tidak
halal. Kecuali orang yang bertanya itu bermaksud mempersulit, tidak
mencari kebenaran.
Muhammad bin Yahya jika menghadapi pertanyaan yang rumit dan belum
bisa menjawab, beliau berkata kepada si penanya, “Apa yang Anda
tanyakan itu perlu dijawab, tapi karena saya belum bisa menjawab, maka
akan saya pikir dulu, sebab di atas orang yang pandai masih ada
orang yang lebih pandai lagi. Belajar dengan cara diskusi dan dialog ini
lebih efektif daripada belajar sendiri, sebab di dalam diskusi kita
dituntut untuk berpikir dan belajar lebih maksimal.”
Ada yang berkata, bahwa diskusi sesaat itu lebih baik daripada
belajar sebulan, asal diskusi tersebut bersama orang yang lebih sadar
dan baik tabiatnya.
Hindarilah musyawarah dengan orang yang suka mempersulit masalah
orang lain, dan tidak baik tabiatnya. Karena tabiat buruk bisa menular.
Seorang penyair berkata, “Di antara syarat ilmu itu, ia
menjadikan semua orang sebagai pelayan bagi orang yang melayaninya.”
Para pelajar harus senang mengamati atau memikirkan
pelajaran-pelajaran yang sukar dipahami, dan harus membiasakan hal itu.
Karena banyak orang bisa mengerti setelah ia mau memikirkan. Oleh karena
itu ada yang berkata, “Perhatikanlah niscaya kamu akan mengerti.” Sebelum
berbicara, pelajar harus berpikir dulu, supaya ucapannya benar. Karena
ucapan itu bagaikan anak panah, oleh karena itu harus diluruskan atau
dipikir dulu sebelum berbicara, agar tidak salah.
Seorang ahli fiqih berkata, “Berpikir sebelum berkata itu sangat
penting. Oleh karena itu, para ahli ilmu fiqih harus berpikir dulu
sebelum bicara.”
Jika kamu mentaati orang yang menasihati dan yang mengasihimu, maka
jangan kamu lupakan waktu ia berbicara, waktunya, ukurannya, dan
tempatnya.
Para pelajar harus terus berpikir atau mengamati, dan terus menambah
pengetahuannya, setiap waktu, dan belajar dari siapa saja.
Rasulullah SAW bersabda, “Hikmah (ilmu) itu ibarat barang
berharga orang mukmin yang hilang. Maka di mana saja dijumpai harus
diambil.” Ada yang berkata, “Ambillah apa yang terang, dan
tinggalkan apa yang suram.”
Aku pernah mendengar Syaikh Fahruddin Al Kasyani berkata, “Budak
perempuan Abu Yusuf dititipkan kepada Syaikh Muhammad, lalu Syaikh
Muhammad bertanya kepada budak itu apakah kamu pernah melihat kebiasaan
dan mendengar perkataan Abu Yusuf sekarang ini?” Dia menjawab. “Tidak,
kecuali dia mengulang-ngulang kalimat Bagian daur itu gugur.”
Kalimat ini dihafal oleh Muhammad. Padahal masalah daur ini sukar bagi
Muhammad, maka dengan mendengar kalimat tadi, kesukarannya hilang.
Dari situ jelas bahwa menambah faedah atau pengertian itu dapat
dilakukan melalui siapa saja. Abu Yusuf pernah ditanya mengenai cara ia
mendapatkan ilmu. Beliau menjawab, “Aku tak pernah enggan menambah
pengertian dan aku juga tak pernah keberatan memberikan faedah kepada
orang lain.”
Ibnu Abbas pernah ditanya hal yang sama, beliau menjawab, “Lisan
yang banyak bertanya, dan hati yang banyak berpikir.” Para pelajar
zaman dahulu sering bertanya dengan pertanyaan berikut, “Bagaimana
pendapatmu tentang masalah ini?”
Imam Abu Hanifah menjadi ahli fiqih karena beliau sering tukar
pendapatnya di tokonya sambil dagang kain.
Dari kisah ini bisa diketahui bahwa mencari ilmu itu bisa sambil
bekerja. Abu Hafas Al Kabir bekerja sambil mengulang-ulang pelajarannya.
Maka, apabila keadaan menuntut seorang pelajar untuk bekerja menafkahi
keluarganya atau lainnya, maka bekerjalah, “Tapi jangan lupa
belajar, dan jangan bermalas-malasan.”
Bagi orang yang sehat jasmani dan rohani, tidak ada alasan untuk
meninggalkan belajar, sebab tiada seorang pun yang lebih miskin daripada
Abi Yusuf, tapi beliau tetap belajar.
Barangsiapa berharta banyak, maka sebaik-baik harta yang dimiliki
orang saleh, ialah harta yang dihabiskan untuk menuntut ilmu. Ada
seorang alim ditanya, “Dengan apa anda memperoleh ilmu?” Beliau
menjawab, “Karena saya mempunyai ayah kaya. Ayahku memberikan atau
menggunakan hartanya untuk orang-orang alim dan mulia untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan.”
Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata, “Saya memperoleh ilmu
karena saya selalu memuji dan bersyukur kepada Allah. Jika aku dapat
mengerti suatu masalah, maka aku mengucapkan Alhamdulillah.” Oleh
karena itulah ilmuku semakin bertambah.
Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dalam bentuk
ucapan, hati, maupun tindakan nyata. Harus yakin bahwa pengertian,
pengetahuan, dan taufik itu hanya anugerah dari Allah. Harus memohon
petunjuk-Nya dengan bedoa dan merendah diri kepada-Nya. Karena Dia
selalu menunjukkan jalan kepada orang yang memohon petunjuk-Nya.
Kaum Ahlu Sunnah Wal Jamaah memohon kebenaran kepada Allah Yang Maha
Besar, Maha Menunjukkan. Maha Pemberi Keterangan Lagi Maha Melindungi.
Lalu mereka pun diberi petunjuk dan dilindungi dari kesesatan. Sedang
ahli bid’ah selalu mengagumi pendapatnya sendiri, mengandalkan akal
dalam mencari kebenaran.
Padahal akal itu lemah. Tidak mampu menguasai segala sesuatu,
sebagaimana halnya penglihatan yang tidak mampu melihat segala sesuatu.
Oleh karena itu mereka terhalang dari kebenaran lemah, sesat dan
menyesatkan.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka
sungguh akan tahu Tuhannya. Dan jika dia tahu kelemahan dirinya, maka
dia tahu sifat kekuasaan Allah.”
Pelajar tidak boleh mendewakan akalnya, tapi harus berserah diri
kepada Allah, dan harus mencari kebenaran dari-Nya. Barangsiapa berserah
diri kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya, dan akan ditunjukkan
ke jalan yang lurus. Barangsiapa berharta, maka jangan kikir atau
bakhil.
Para pelajar harus memohon perlindungan kepada Allah dari sifat
kikir. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidakkah ada penyakit yang lebih
parah daripada kikir?”
Ayah Syaikh Syamsul Aimmah Al-Halwani itu adalah seorang fakir.
Kerjanya menjual manisan. Dia suka memberikan manisan itu kepada fuqaha
(ahli fiqih) sambil berkata kepada mereka, “Doakanlah anakku!”
berkat kemurahan hatinya, kemantapannya, belas kasihannya, dan
kerendahan hatinya, maka putranya berhasil mencapai apa yang dia
cita-citakan.
Para pelajar harus rajin membeli kitab, dan menyuruh orang lain
menuliskan kitab, karena hal itu dapat membantu mempermudah mengaji dan
belajar ilmu fiqih.
Muhammad bin Hasan adalah orang yang kaya raya. Sehingga untuk
mengurus hartanya diperlukan tiga ratus orang. Lalu semua hartanya itu
didermakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga beliau tak
memiliki sepotong pakaian pun yang bagus. Kemudian suatu ketika Abu
Yusuf melihat beliau mengenakan pakaian bertambal, maka ia lalu
mengirimkan kepada beliau pakaian yang bagus, namun beliau menolak
pemberian itu dengan halus.
Lalu beliau berkata, “Kalian telah diberi harta dunia, sedang aku
akan diberi di akhirat nanti.” Menerima hadiah tersebut menurutnya
hanyalah menghinakan diri sendiri. sekalipun beliau tahu bahwa menerima
hadiah itu sunah.
Rasulullah SAW besabda, “Tidak layak orang mukmin menghinakan
dirinya sendiri.”
Diceritakan bahwa Imam Irsabandi pernah mengumpulkan kulit semangka
di tempat sepi, lalu memakannya. Hal itu dilihat oleh seseorang budak
perempuan lalu budak tersebut melaporkan peristiwa itu kepada tuannya.
Tuannya segera membuatkan hidangan untuk Imam Irsabandi, kemudian beliau
diundang makan. Tapi beliau menolak undangan itu. begitulah seharusnya
seorang pelajar bercita-cita dan bersikap. Jangan rakus dengan harta
orang lain.
Rasulullah SAW bersabda, “Tinggalkanlah sifat tamak, karena tamak
adalah kefakiran yang hadir.” Pelajar juga tidak boleh kikir
dengan harta yang dimiliki, tapi harus menafkahkannya untuk kepentingan
dirinya dan orang lain.
Rasulullah SAW bersabda, “Manusia seluruhnya adalah fakir, karena
mereka takut fakir. Orang-orang pada jaman dahulu belajar bekerja
kemudian baru belajar ilmu pengetahuan, sehingga mereka tidak tamak
dengan harta orang lain.”
Di dalam kata hikmah dikatakan, “Barangsiapa yang tamak dengan
harta orang maka dia akan fakir.” Orang alim yang tamak, maka
musnahlah kehormatannya, dan tak akan bisa berkata benar. Oleh karena
itulah Nabi Muhammad SAW mohon perlindungan seraya berdoa, “Aku
berlindung kepada Allah dari sifat tamak yang menjadi watak.”
Para pelajar seharusnya tidak beharap kecuali hanya kepada Allah dan
tidak takut kecuali kepada-Nya. Hal itu tampak dari berani tidaknya ia
melanggar hukum syariat.
Barangsiapa bermaksiat kepada Allah karena takut kepada makhluk,
berarti dia takut kepada selain Allah. Dan barangsiapa yang tidak
bermaksiat karena takut kepada makhluk, dan dia menjaga batas-batas
hukum syariat, maka dia tidak takut kepada selain Allah, tetapi takut
kepada Allah. Begitu pula dalam urusan harapan.
Para pelajar harus mengulang-ulang pelajarannya sampai jumlah
bilangan tertentu. Kalai setiap malamnya mengulangi pelajarannya sampai
sepuluh kali, maka begitu seterusnya. Karena pelajaran itu tidak bisa
melekat di hati bila tidak diulang-ulang.
Pelajar harus membiasakan membaca pelajaran dengan suara keras. Sebab
belajar itu harus dengan semangat, tapi juga tidak boleh keras-keras,
dan tidak usah memaksakan diri, supaya tidak cepat bosan, karena
sebaik-baiknya perkara itu yang sedang-sedang.
Diceritakan bahwa Abi Yusuf mendiskusikan ilmu fiqih dengna para
ulama. Dia berdebat dengan semangat, sampai mertuanya heran padanya,
sebab dia menahan lapar sejak lima hari, tapi masih kuat musyawarah
dengan kuat dan semangat.
Pelajar tidak boleh patah semangat atau frustasi, karena hal itu
berakibat buruk. Syaikh Burhanuddin berkata, “Aku dapat mengalahkan
teman-temanku karena aku tak pernah mengalami patah semangat, dan tak
pernah goncang dalam mencari ilmu.”
Dikisahkan bahwa Syaihul Islam Asbijani pernah mengalami kegoncangan
jiwa atau patah semangat dalam belajar, selama dua belas tahun karena
terjadi perubahan pemerintahan di negerinya. Kemudian beliau keluar
bersama temannya untuk belajar bersama. Mereka setiap hari duduk untuk
belajar bersama. Hal itu mereka lakukan selama dua belas tahun sampai
temannya mendapat gelar Syaikhul Islam untuk madzhab Syafi’i, karena
beliau memang ikut madzhab Syafi’i. Imam Qadhikan berkata, “Sebaiknya
menghafalkan satu naskah kitab fiqih untuk selamanya, supaya ia mudah
menghafal kitab-kitab fiqih lainnya.”
Dikutip dari
http://arihdyacaesar.wordpress.com/2012/01/20/mulai-mengaji-ukuran-dan-urutannya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar