Pencipta lambang negara Republik Indonesia Burung Garuda adalah
Sultan Hamid II (Sultan Syarif Abdul Hamid Alkadrie). Namun, nama bekas
Menteri Negara RIS ini ditenggelamkan pemerintah Sukarno karena
dikaitkan dengan pemberontakan Westerling yang sampai dengan sekarang
tidak pernah terbukti secara yuridis. Di hari peringatan ke-60
Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2005 yang lalu pihak keluarga
Sultan Hamid II sempat meminta pemerintah tidak melupakan jasa tokoh
dari Kalimantan Barat tersebut, akan tetapi sampai sekarang sejarah itu
tetap disembunyikan pemerintah saat ini.
Turiman
Fachturahman Nur membuktikan kebenaran ini dalam tesisnya di
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 11 Agustus 1999
dengan judul “Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu
Analisis Yuridis tentang Pengaturan Lambang Negara dalam
Perundang-undangan)”, Turiman mempertahankan secara yuridis dengan
data-data yang akurat mengenai siapa sebenarnya pencipta lambang negara
Burung Garuda.
Sultan Hamid II adalah Sultan ke-VIII dari
Kesultanan Kadriah Pontianak yang memiliki nama lengkap Sultan Abdul
Hamid Alkadrie. Putra Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan VII
Kesultanan Pontianak. Sultan Hamid II lahir di Pontianak pada 12 Juli
1913. Sultan Hamid Alkadrie II melewati masa kecilnya di Istana Kadriah
Kesultanan Pontianak yang dibangun pada 1771 Masehi. Sultan Hamid II
pernah menjadi Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun
1948.
Sultan Hamid II dikenal cerdas, ia juga menjadi Ajudant in
Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah
pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda (Ratu Juliana)
dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam
kemiliteran yaitu dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Sultan Hamid
menempuh pendidikan "ELS" di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan
Bandung. "HBS" di Bandung satu tahun, "THS" Bandung tidak tamat,
kemudian "KMA" di Breda, Belanda hingga tamat dan berpangkat letnan pada
kesatuan tentara Hindia Belanda. Sultan Hamid II adalah orang Indonesia
pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di
Breda, Belanda, seperti AKABRI dengan pangkat letnan dua infanteri pada
tahun 1936.
Sultan Hamid adalah salah satu tokoh penting
nasional dalam mendirikan Republik Indonesia bersama rekan sejawatnya,
Sukarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mr. Muhammad Roem, Mohammad
Natsir, dan Muhammad Yamin. Dalam sejarah pendirian RI, Sultan Hamid
pernah menjadi Ketua Delegasi BFO (Bijeenkomst Federaale
Overleg/Musyawarah Istimewa Kaum Federal dan Strategi Konseptor Negara
Federal) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus
1949. Sultan Hamid juga menjadi saksi pelantikan Sukarno sebagai
Presiden RI di Keraton Yogyakarta pada 17 Desember 1949.
Sepak
terjangnya di dunia politik menjadi salah satu alasan bagi Presiden
Sukarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai Menteri Negara Zonder
Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 1949-1950. Pada
13 Juli 1945 dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah
satu anggota Panitia, mengusulkan tentang lambang negara. Pada 20
Desember 1949, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat
Nomor 2 Tahun 1949, Sultan Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara
RIS. Dalam kedudukannya ini, Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden
Sukarno untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan lambang negara.
Dalam
buku Bung Hatta Menjawab–Hatta saat itu menjadi Perdana Menteri
RIS–tertulis Menteri Priyono yang ditugaskan oleh Sukarno melaksanakan
sayembara lambang negara menerima hasil dua buah gambar rancangan
lambang negara yang terbaik. Yaitu Burung Garuda karya Sultan Hamid II
dan Banteng Matahari karya Muhammad Yamin. Namun, yang diterima oleh
Presiden Sukarno adalah karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin
ditolak. Melalui proses rancangan yang cukup panjang, akhirnya pada 10
Februari 1950, Menteri Negara RIS Sultan Hamid II mengajukan rancangan
gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang
berkembang. Hasil akhirnya adalah lambang negara Garuda Pancasila yang
dipakai hingga saat ini.
Rancangan
lambang negara karya Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam
sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri Republik Indonesia
Serikat (PM RIS) Mohammad Hatta pada 11 Februari 1950. Empat hari
berselang, tepatnya 15 Februari, Presiden Sukarno memperkenalkan untuk
pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II kepada khalayak
umum di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) Jakarta. Pada 20 Maret
1950, bentuk final lambang negara rancangan Menteri Negara RIS Zonder
Forto Polio, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Sukarno dan
mendapat disposisi persetujuan presiden. Selanjutnya Presiden Sukarno
memerintahkan pelukis Istana bernama Dullah untuk melukis kembali gambar
itu sesuai bentuk final dan aslinya.
Lambang negara ini
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang diundangkan
dalam Lembaran Negara Nomor 111 dan penjelasannya dalam tambahan
Lembaran Negara Nomor 176 Tahun 1951 pada 28 November 1951. Sejak saat
itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II
secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan RI. Sebelum meninggal
dunia, Sultan Hamid II yang didampingi sekretaris pribadinya, Max Yusuf
Alkadrie menyerahkan gambar rancangan asli lambang negara yang sudah
disetujui Presiden Sukarno kepada Haji Mas Agung–Ketua Yayasan Idayu,
pada 18 Juli 1974. Gambar rancangan asli itu sekaligus diserahkan kepada
Haji Mas Agung di Jalan Kwitang Nomor 24 Jakarta Pusat.
Pada
5 April 1950, Sultan Hamid II dikait-kaitkan dengan peristiwa
Westerling (yang tidak pernah terbukti secara yuridis/hukum) sehingga
harus menjalani proses hukum (tanpa hukum/politisasi) dan dipenjara
selama 10 tahun oleh pemerintah Sukarno (dikarenakan pergolakan poltik
pada saat itu) . Sejak itulah, nama Sultan Hamid II seperti dicoret dari
catatan sejarah. Jarang sekali buku sejarah Indonesia yang
terang-terangan menyebutkan Sultan Hamid sebagai pencipta gambar Burung
Garuda. Sejarawan Indonesia lebih sering menyebut nama Muhammad Yamin
sebagai pencipta lambang negara. Gelar kepahlawanan yang seharusnya
disandang Sultan Hamid II yang sangat berjasa sebagai perancang lambang
negara tersebut sengaja dihilangkan oleh pemerintahan Sukarno, Suharto
hingga saat ini. Kesalahan sejarah itu berlangsung bertahun-tahun hingga
pemerintahan Orde Baru dan sampai dengan sekarang belum sepenuhnya
terungkap.
Dalam tesisnya, Turiman menyimpulkan, sesuai
Pasal 3 Ayat 3 (tiga) UUD Sementara 1950 menetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara. Berdasarkan Pasal 23, 3, jo
PP Nomor 60/1951 itu ditentukan bahwa bentuk dan warna serta skala
ukuran lambang negara RI adalah sebagaimana yang terlampir secara resmi
dalam PP 66/51, Lembaran Negara Nomor 111 serta bentuk lambang negara
yang dimaksud adalah lambang negara yang dirancang oleh Sultan Hamid
Alkadrie II yaitu Burung Garuda. Bukan lambang negara yang dibuat oleh
Muhammad Yamin yang berbentuk banteng dan matahari.
Sultan
Hamid II meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan
di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Sudah
sepatutnya negara mengembalikan nama baik Sultan Hamid II sebagai
pahlawan bangsa serta pencipta lambang negara yang terlepas dari masalah
politik lain yang ditimpakan kepadanya. Pemutarbalikan fakta sejarah
yang terjadi saat ini sangat merugikan generasi mendatang. Sejarah harus
diletakkan pada porsinya semula dan sejarah harus diluruskan agar
generasi mendatang tau tentang pencipta lambang negaranya Burung Garuda,
serta generasi bangsa ini tidak salah dalam melihat sejarah, begitupula
termasuk memberikan penghormatan kepada Sultan Hamid II sebagai
pahlawan nasional seperti halnya W.R. Supratman, pencipta lagu Indonesia
Raya, Fatmawati, pembuat Bendera pusaka Indonesia, dan lainnya.
Katakanlah yang benar itu benar, dan yang salah itu salah.
Sejarah sepatutnya diluruskan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak pernah "lupa" dengan sejarahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar