Detik-detik perginya tamu agung nan suci ini, adalah layak
kita mempertanyakan kembali dengan serius kepada setiap pribadi kita,
“sudahkah kita meraih predikat takwa yang dijanjikan Allah bagi
orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, atau minimal sudah melekat
kah pada diri dan masyarakat kita sebagian dari karakteristik
orang-orang yang bertakwa(muttaqiin)?”. Sejatinya, yang bisa memutuskan
seseorang sudah meraih gelar takwa atau belum memang hanyalah Allah Swt.
Namun begitu, beberapa indikator bisa kita jadikan pegangan untuk
menilai pribadi kita pasca Ramadhan nanti. Artinya, meski yang menilai
seseorang sudah meraih predikat takwa atau belum hanya Allah, namun kita
telah diberikan petunjuk untuk menilai diri kita dengan patokan
mendekati dan mengarah kepada para Nabi dan Shahabatnya sebagai manusia
yang pasti ketaqwaannya
Apakah karakteristik yang Allah sebut
dalam Alquran melekat erat pada diri pribadi orang-orang yang meraih
derajat muttaqin sudah melekat pada diri kita?. Dan tulisan ini hanya
mencoba mengajak kita semua untuk bertafakkur dan bermuhasabah tentang
sejauh mana kualitas ibadah puasa Ramadhan yang saban tahun kita
kerjakan. Bukan untuk menilai sesorang belum bertakwa atau sudah meraih
derajat mulia tersebut.
Para ulama mendefinisikan takwa ini
dengan ungkapan: “Menaati Allah dan tidak maksiat, selalu berdzikir dan
tidak lupa, senantiasa bersyukur dan tidak kufur”. Dari definis ini kita
bisa berkesimpulan, bahwa takwa adalah kalimat yang singkat namun kaya
makna, mencakup seluruh tuntunan yang dibawa Islam; akidah, ibadah,
muamalah dan akhlak. Dan takwa bukanlah kalimat yang hanya sekedar
diucapkan, atau hanya sekedar klaim tanpa bukti. Tapi takwa adalah
perbuatan dalam rangka ketaatan kepada Allah dan tidak melakukan maksiat
kepada-Nya.
Pada prinsipnya, puasa Ramadhan akan selalui
ditandai dengan transformasi dalam diri pelakunya serta masyarakat
sekitarnya dengan mengalirnya amal saleh yang tiada putus-putusnya serta
berbagai perbuatan terpuji lainnya. Bila setelah Ramadhan seseorang
selalu berbuat baik, serta bisa memberikan sumbangsih untuk perubahan
masyarakat di sekitarnya sampai ia menghadap Allah Swt, maka jelas ia
akan tergolong kelompok manusia yang meraih gelar takwa dan pahala yang
akan kelak ia dapatkan adalah surga.
Dan sebaliknya, jika
setelah melaksanakan ibadah Ramadhan seseorang masih seperti sebelum
melaksanakan Ramadhan maka bisa dipastikan Ramadhannya tidak berkah dan
ia gagal meraih predikat takwa. Namun begitu, kita memang tidak bisa
menilai apakah seseorang itu benar-benar mencapai gelar takwa atau
tidak. Itu hak Allah. Namun kita bisa mengenali ciri-ciri orang yang
meraih gelar takwa antara lain adalah; terjadinya perubahan pribadi ke
arah yang positif. Perubahan ini mencakup hubungan vertikal (dengan
Allah) dan horizontal (dengan lingkungan sekitar), juga mencakup
kualitas ibadah jasmani dan rohani.
Sebagian dari dampak ibadah
puasa Ramadhan bagi pelakunya adalah terjadinya perubahan kualitas
perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji. Indikator diraihnya
gelar takwa pasca Ramadhan adalah jika pelakunya patuh melaksanakan apa
yang diperintahkan oleh Allah Swt dan meninggalkan apa yang dilarangNya,
baik semasa Ramadhan maupun nanti pasca Ramadhan. Ada banyak kriteria
orang yang bertakwa yang disebutkan dalam Alquran maupun sunnah.
Diantara kriteria tersebut adalah, beriman, senantiasa mendirikan
shalat, menunaikan zakat/menafkahkan sebagian harta, selalu menepati
janji, sabar, selalu berdo’a kepada Allah, benar, tetap taat dan
mengingat Allah, selalu beristighfar(meminta ampun) dan taubat kepada
Allah dari semua dosanya. Disamping itu, menahan amarah, suka memaafkan,
selalu berbuat baik, tidak melakukan perbuatan keji, shalat tahajjud,
amalan-amalan tersebut selalu dilakukan oleh yang bertakwa.
Kriteria berikutnya adalah ia akan memiliki sifat dan sikap terpuji
seperti sabar, syukur, tawakkal, pemaaf, tawadlu dan sebagainya. Ia juga
akan malu kepada Allah Swt utk melakukan perbuatan yang dilarang-Nya.
Bersemangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu
pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam. Kemudian ia juga akan senantiasa
bekerja keras dan tekun untuk memenuhi keperluan hidup dirinya,
keluarganya dan dalam rangka membantu orang lain serta berusaha untuk
tidak membebani dan menyulitkan orang lain.
Indikator takwa
yang lain adalah ia akan konsekuen meninggalkan apa yang dilarang oleh
Allah Swt, terutama dosa-dosa besar, seperti syirik, riba, judi, zina,
khamr, korupsi, membunuh orang, bunuh diri, bertengkar, menyakiti orang
lain, khurafat, bid'ah dan sebagainya. Dia juga akan gemar melakukan
ibadah wajib, sunat dan amal shalih lainnya serta berusaha meninggalkan
perbuatan yang makruh dan tidak bermanfaat. Aktif berkiprah dalam
memperjuangkan, menda'wahkan Islam dan istiqamah serta sungguh-sungguh
dalam melaksanakan amar ma'ruf dengan cara yang ma'ruf, melaksanakan
nahi munkar tidak dengan cara munkar.
Artinya ia akan memiliki
komitmen yang total untuk mentaati Allah Swt dan tunduk kepada-Nya,
bukan saja selama puasa Ramadhan, melainkan kapan saja dan di mana saja
ia berada. Puasa Ramadhan tidak akan bermakna jika pasca Ramadhan
seseorang tidak menyadari identitas kehambaanya kepada Allah Swt.
Tuntunan syetan kembali diagungkan. Merebut harta haram(KKN) dan
kemaksiatan menjadi kebiasaannya sehari-hari.
Selain itu,
orang-orang yang bertakwa akan cepat melakukan taubat apabila terlanjur
melakukan kesalahan dan dosa, tidak membiasakan diri proaktif dengan
perbuatan dosa, tidak mempertontonkan dosa dan tidak betah dalam setiap
aktivitas berdosa. Sungguh-sungguh memanfaatkan segala potensi yang ada
pada dirinya untuk melakukan berbagai transformasi sosial serta menolong
orang lain dan menegakkan "Izzul Islam wal Muslimin" atau kejayaan
Islam dan kaum Muslimin.
Untuk meraih predikat takwa diperlukan
proses yang berkelanjutan, tidak hanya memada dengan puasa ramadhan.
Takwa dibentuk melalui proses pembinaan yang kontinu/berkelanjutan
menuju ke tingkat ketakwaan yang tinggi yaitu takwa khawwash
al-khawwash. Secara rinci, pembentukan karakter takwa, selain puasa
Ramadhan juga dapat direalisasikan melalui upaya-upaya relegius sebagai
berikut: seperti, membaca Alquran, mengkaji dan merenungi maknanya
(khususnya yang dengan ancaman Allah bagi orang-orang yang berbuat
maksiat), serta melaksanakan isi kandungannya(tidak memada semata hanya
belajar dan mengajarinya). Kemudian puasa, baik puasa wajib (ramadhan)
maupun yang sunat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar